Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Harta Temuan di Lokasi Bencana, Apakah Wajib Dizakati?

Jika berbicara mengenai harta temuan (barang luqathah), tentu kita tidak bisa melihatnya dari satu sisi saja. Dua sisi yang senantiasa wajib dijadikan sebagai bahan pertimbangan adalah sisi penemu (laqith) dan sisi orang yang kehilangan (multaqith). Kedua sisi ini memiliki sandaran yang berbeda dalam hukum kewajiban zakatnya.

Sebelum masuk ke ranah bahasan wajibnya zakat bagi kedua pihak itu, ada baiknya mengetahui batasan bahwa suatu barang kapan ditengarai sebagai barang temuan alias luqathah sehingga ada kemungkinan berpindah status kepemilikannya. Dalam hal ini terdapat tiga dialektika.

Pertama, barang tersebut umumnya ada pemiliknya. Misalnya, menemukan perhiasan yang terbuat dari emas atau perak. Yang dinamakan perhiasan sudah pasti ada asal-usulnya. Bahkan dalam kasus harta rikaz (harta karun), jika masih ditemukan adanya hak waris dari pemilik harta tersebut, serta perhiasan itu menunjukkan adanya identitas tertentu pemilik asalnya, hukumnya adalah wajib menyerahkan harta tersebut ke pewaris. 

Kedua, barang itu ditemukan pada lokasi yang tidak ada pemiliknya atau di tempat umum. Seperti menemukan di jalan atau di wilayah tak bertuan. Hukum barang seperti ini adalah disamakan statusnya sebagai barang amanah, atau barang titipan. Kewajiban dari penemu adalah mengumumkan selama 1 tahun. Jika lebih dari satu tahun tidak ada yang mengaku sebagai pemilik asli barang, maka dia boleh menguasainya namun disertai dengan jaminan, bahwa bila suatu ketika ada pemilik yang mengetahui bahwa barang itu adalah miliknya, maka ia wajib mengembalikan. 

Ketiga, barang itu ditemukan di lokasi yang ada pemiliknya. Dalam kondisi seperti ini, maka status barang, adalah milik dari pemilik lokasi atau lahan tersebut, sehingga wajib bagi penemunya untuk menyerahkan kepadanya. Hal yang sama, juga berlaku untuk harta rikaz (harta karun). 

Namun, dalam konteks negara bangsa, seperti Indonesia, harta rikaz merupakan harta yang dikuasai oleh negara dan menjadi milik negara berdasarkan ketetapan hukum wad'i negara (hukum positif), yaitu Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, penyerahan harta tersebut ke negara hukumnya adalah wajib, kecuali ada indikasi yang kuat bahwa bila diserahkan ke pejabat yang berwenang, justru menimbulkan mafsadah yang besar terhadap harta temuan bersejarah itu.

Jadi, konsepsi harta temuan, dalam hukum Islam dibedakan sebagai dua, yaitu: (1) harta temuan yang statusnya bisa dipastikan sebagai harta luqathah, dan (2) harta temuan yang statusnya sebagai harta rikaz. 

Harta Luqathah Harta temuan yang sudah dipastikan statusnya sebagai luqathah, adakalanya berupa barang wajib zakawy (barang wajib zakat), dan adakalanya bukan barang zakawy. Untuk yang masuk dalam kategori barang zakawy, misalnya adalah emas dan perak, atau uang tunai. Ketentuan jumlah dari harta ini sudah pasti harus mencapai nishab dan mencapai haul (satu tahun).

Dua sisi pandangan terkait dengan harta zakawy yang ditemukan dengan kadar lebih dari satu nishab, adalah wajib dilihat dari sisi pemilik asli barang zakawy dan penemu.

Pertama, bagi pemilik asli yang kehilangan harta, maka berlaku ketentuan tidak wajibnya mengeluarkan zakat, kecuali setelah barang itu kembali kepadanya. Status harta disamakan dengan harta maghshub (harta yang di-ghashab) atau harta masruq (harta yang dicuri). Keduanya merupakan alasan bagi telah berpindahnya kepemilikan harta, sehingga hukum yang berlaku atasnya juga menjadi hilang. Saat harta itu kembali, maka status asal hartanya menempati derajat harta yang pernah di-ghashab. Untuk itu, bila telah mencapai satu tahun, sejak hilangnya harta sehingga harta itu kembali, maka pada waktu kembalinya harta itu, pemilik asli wajib mengeluarkan zakatnya.


Dalam kondisi seperti ini, status harta yang hilang terhadap penemunya tidak bisa diumpakan sebagai harta amanah (harta kepercayaan). Karena dalam harta amanah, meski tidak ada perpindahan hak milik, namun pemilik aslinya bisa melakukan penyaluran/pengelolaan harta (tasharruf). Mendudukkan harta yang hilang sebagai harta amanah dapat menjadikan pemilik asli menjadi wajib mengeluarkan zakat, meski hartanya belum kembali. Dan hal sedemikian ini tidak mungkin dilakukan. 

Kedua, bagi pihak yang menemukan harta zakawy yang mencapai nishab, berlaku dua hukum atasnya. Pertama, ia tidak wajib mengeluarkan zakat. Tidak wajibnya mengeluarkan ini, sudah pasti ada ketentuan, yaitu jika pihak yang menemukan telah berusaha memenuhi kewajiban selaku penemu. Misalnya, telah mengumumkannya di media massa, atau di sarana publik selama satu tahun (haul). Bila sudah mencapai haul dan tidak ada pihak yang mengaku menemukan, maka sejak saat itu, harta berpindah status kepemilikannya kepada dia. Hitungan perpindahan ini, tidak dihitung sejak barang itu ditemukan. Akan tetapi, perpindahan itu dihitung sejak saat sahnya barang temuan itu menjadi miliknya. 

Kedua, pihak penemu wajib mengeluarkan zakatnya. Status kewajiban ini berlaku bila ada tengara berupa niat sejak awal bagi penemu untuk menguasainya (al-tasalluth alaiha) atau memilikinya. Tengara ini bisa dicirikan dengan tidak mengumumkannya pihak penemu terhadap harta temuan di sarana publik atau media massa. Dalam kondisi ini, maka harta yang ditemukan berubah statusnya menjadi harta milik baginya, terhitung sejak barang itu ditemukan olehnya sampai mencapai satu tahun dalam penguasaannya. 

Alhasil, dengan bedanya niat bagi penemu harta zakawy, terjadi perbedaan hukum yang berlaku atasnya. Niat menjadi dasar illat penguat perbedaan hukum. Karena bagaimanapun juga, hukum Islam senantiasa berlaku berkaitan erat dengan niat/illat. Sebuah kaidah fiqih menyatakan:

"Hukum itu berlaku bersamaan dengan illatnya, baik adanya maupun ketiadaannya.” Wallahu a’lam bish shawab. 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
source : nu.or.id